Jakarta, mata4.com — Direktur Eksekutif Trust Indonesia, Ahmad Fadhli, menyoroti proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau yang dikenal sebagai Kereta Whoosh. Ia menyebut proyek tersebut sebagai “proyek babon” karena menelan anggaran jumbo yang mencapai US$7,27 miliar, atau setara Rp120,6 triliun.
Menurut Fadhli, dari total dana tersebut, 75 persen bersumber dari utang kepada China Development Bank (CDB), dengan tenor 60 tahun dan bunga sekitar Rp2 triliun per tahun.
“Bahkan, anak Indonesia yang lahir hari ini harus menanggung beban utang Kereta Whoosh hingga dia bekerja, bahkan pensiun,” ujar Fadhli kepada inilah.com, Rabu (29/10/2025).
Proyek Strategis dengan Pembengkakan Biaya
Proyek KCJB pertama kali digagas pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan mulai digarap pada 2016. Proyek ini sempat mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) senilai US$1,2 miliar atau sekitar Rp19,8 triliun.
Meski sempat tersendat, proyek kereta berkecepatan 350 km/jam itu akhirnya diresmikan dan beroperasi pada 17 Oktober 2023.
Fadhli menilai, secara prinsip, pembangunan infrastruktur transportasi publik merupakan investasi jangka panjang yang semestinya menguntungkan masyarakat luas. Namun ia mengingatkan, proyek semacam ini tidak boleh menjadi beban ekonomi generasi mendatang.
“Jika proyek ini justru merugikan rakyat, maka diplomasi Indonesia dalam proyek Kereta Whoosh bisa dianggap gagal. Bisa saja ada kesalahan perhitungan, atau bahkan permainan oknum yang mengorbankan kepentingan nasional,” tegasnya.

Bandingkan dengan Jepang, tapi Tanpa Fanatisme
Dalam konteks kerja sama internasional, Fadhli mengaku tidak ingin membandingkan secara subjektif antara China dan Jepang.
“Bukan soal siapa lebih baik, tapi soal keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya.
Fadhli mencontohkan, Jepang memiliki pengalaman panjang dalam proyek infrastruktur Indonesia, salah satunya jalan tol Jagorawi, yang hingga kini masih dinikmati masyarakat dari berbagai kalangan.
Namun, ia juga mengingatkan, setiap proyek besar selalu memiliki konsekuensi. “Kita tahu, untuk membangun Tol Jagorawi dulu, ribuan hektare lahan pertanian dan petani dikorbankan. Jadi tidak ada yang tanpa dampak,” jelasnya.
Aksesibilitas untuk Siapa?
Fadhli menilai, proyek Kereta Whoosh perlu dikaji ulang dari sisi manfaat publik dan aksesibilitas.
“Tol Jagorawi bisa diakses rakyat jelata hingga orang kaya. Lain halnya dengan Kereta Whoosh yang masih relatif mahal untuk masyarakat menengah bawah,” ujarnya.
Ia menambahkan, masyarakat berpenghasilan rendah harus menabung cukup lama hanya untuk sekali menikmati perjalanan dengan kereta cepat tersebut.
“Rakyat kecil mungkin harus menabung setengah tahun untuk bisa naik Whoosh. Artinya, infrastruktur ini belum sepenuhnya menjawab keadilan sosial,” pungkas Fadhli.
