
Jakarta, Mata4.com — Terdakwa dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan infrastruktur, Vadel Badjideh, secara resmi mengajukan banding atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Banding ini diajukan setelah hakim menjatuhkan vonis 9 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar, subsider 6 bulan kurungan, pada sidang putusan yang digelar pekan lalu.
Vadel didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam proses pengadaan proyek infrastruktur yang bersumber dari anggaran negara. Dalam dakwaan, Vadel disebut menerima keuntungan pribadi dari proyek tersebut dan dianggap merugikan keuangan negara miliaran rupiah.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Kuasa Hukum Nilai Vonis Tidak Sesuai Fakta Persidangan
Tim kuasa hukum Vadel menyatakan bahwa pihaknya menghormati putusan majelis hakim, namun menilai terdapat sejumlah pertimbangan hukum yang tidak sejalan dengan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan. Oleh karena itu, langkah banding ditempuh guna mencari keadilan yang lebih objektif di tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
“Kami tidak dalam posisi menolak proses hukum, tetapi kami merasa beberapa kesaksian kunci dan bukti yang kami hadirkan belum mendapat porsi pertimbangan yang semestinya dari majelis hakim,” ujar kuasa hukum Vadel, R.A. Dwinanto, kepada awak media usai sidang.
Menurutnya, selama proses persidangan, pihaknya telah menyampaikan bantahan atas dakwaan dan menghadirkan saksi-saksi yang mendukung klaim bahwa kliennya tidak secara langsung terlibat dalam praktik korupsi tersebut. Meski begitu, hakim tetap berpegang pada alat bukti dan keterangan saksi yang dihadirkan oleh jaksa.
Jaksa Siap Tanggapi Upaya Banding
Menanggapi pengajuan banding tersebut, Jaksa Penuntut Umum menyatakan akan mempelajari terlebih dahulu memori banding yang diajukan oleh pihak terdakwa sebelum menyampaikan tanggapan resmi.
“Kami menghormati hak terdakwa untuk menempuh jalur hukum sesuai prosedur. Tentu kami akan mempelajari isi banding dan menyiapkan kontra-memori sebagaimana ketentuan yang berlaku,” kata jaksa utama dalam perkara ini, Siti Nurhayati.
Jaksa juga menambahkan bahwa pihaknya tetap yakin dengan alat bukti dan pertimbangan hukum yang telah digunakan dalam menyusun tuntutan, serta mendukung putusan hakim sebagai bentuk penegakan hukum terhadap praktik korupsi yang merugikan negara.
KPK Masih Kembangkan Kasus
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani penyidikan perkara ini sebelumnya menyatakan bahwa pengusutan tidak berhenti pada satu nama saja. Lembaga antirasuah tersebut menyebut bahwa kasus ini memiliki keterkaitan dengan sejumlah pihak lain yang masih dalam proses pemeriksaan.
“Proses penyidikan masih terus berjalan. Kami sedang mendalami aliran dana dan kemungkinan keterlibatan aktor lain dalam proyek pengadaan ini,” kata juru bicara KPK, Ali Fikri, dalam pernyataan tertulis.
Kasus ini menarik perhatian publik karena menyangkut proyek strategis nasional yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan dan pelayanan masyarakat. KPK menegaskan komitmennya untuk menuntaskan perkara ini secara transparan dan profesional.
Pengamat: Banding Merupakan Hak Konstitusional Terdakwa
Menanggapi perkembangan ini, pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia, Dr. Hendra Satiawan, menyebut bahwa pengajuan banding oleh terdakwa adalah hal yang wajar dan dijamin oleh hukum. “Dalam sistem peradilan kita, banding merupakan bagian dari mekanisme checks and balances, agar setiap warga negara mendapatkan kesempatan hukum yang adil,” ujarnya.
Hendra menambahkan bahwa asas praduga tak bersalah harus tetap dijunjung tinggi selama proses hukum masih berlangsung. “Seseorang tidak dapat dianggap bersalah secara final sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht),” tegasnya.