
Manila, Mata4.com — Setelah lebih dari dua dekade mendekam di balik jeruji penjara Filipina karena kasus terorisme, Taufiq Rifqi, seorang warga negara Indonesia, mengajukan permintaan yang sederhana namun berat untuk dijawab: ia ingin pulang ke Indonesia.
Di balik dinding beton yang telah menjadi “rumahnya” selama 25 tahun, Taufiq menyampaikan permintaan pemulangan melalui keluarganya di Jawa Tengah. Ibunya—yang kini telah renta—mengirim surat kepada pemerintah Indonesia, berharap anaknya bisa menghabiskan sisa hidupnya di tanah air. Bukan untuk bebas, tapi untuk menjalani hukuman seumur hidupnya di negara sendiri, dekat dengan keluarga, dengan harapan akan ada kesempatan untuk menebus masa lalu.
Terpenjara Jauh dari Tanah Air
Taufiq bukan nama yang dikenal publik. Tapi bagi aparat keamanan Filipina dan Indonesia, namanya tercatat sebagai bagian dari jaringan militan yang terkait aksi pengeboman hotel di Cotabato pada akhir 1990-an. Ia ditangkap saat usianya masih sekitar 20 tahun—masih sangat muda—dan kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Selama bertahun-tahun, ia menjadi satu dari puluhan WNI yang menjalani hukuman berat di luar negeri. Permintaan grasi kepada otoritas Filipina telah ditolak. Kini, satu-satunya harapan datang dari diplomasi dan keputusan Pemerintah Indonesia.
Pemerintah Mulai Bergerak, Tapi Tak Bisa Gegabah
Permintaan keluarga Taufiq kini tengah dikaji serius oleh berbagai lembaga negara—dari Kementerian Luar Negeri, BNPT, Kemenkumham, hingga Kedutaan RI di Manila. Bahkan Menko Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan, Yusril Ihza Mahendra, secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa langsung menuruti permintaan ini tanpa pertimbangan yang matang.
“Permintaan ini datang dari keluarga. Tapi kalaupun ingin diproses, itu harus lewat pemerintah dan atas dasar hukum yang jelas. Terlebih, ini bukan perkara ringan. Ini kasus terorisme,” ujar Yusril.
Di saat yang sama, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) pun dilibatkan untuk mengevaluasi apakah Taufiq masih membawa ideologi radikal atau sudah benar-benar berubah dan layak mengikuti program deradikalisasi di Indonesia.

www.service-ac.id
RUU Transfer Narapidana: Hukum Harus Bicara
Yang menjadi masalah utama: Indonesia belum punya undang-undang tentang pemindahan narapidana antarnegara. Tanpa dasar hukum, pemulangan Taufiq bisa menjadi keputusan yang dipertanyakan.
Karena itu, pemerintah kini mempercepat pembahasan RUU Pemindahan Narapidana Antarnegara, atau yang populer disebut sebagai RUU Transfer of Prisoners (TSP). RUU ini akan menjadi payung hukum bagi Indonesia dalam mengatur pemindahan WNI yang menjalani hukuman di luar negeri—dari terorisme, narkoba, hingga kasus pidana berat lainnya.
RUU tersebut telah difinalisasi antar-kementerian dan akan segera diajukan ke Presiden Prabowo Subianto untuk dibahas bersama DPR.
Antara Kemanusiaan dan Keamanan Negara
Kasus Taufiq menempatkan pemerintah dalam posisi dilematis: menjaga nilai kemanusiaan tanpa melonggarkan prinsip keamanan nasional.
Pemerintah harus memastikan bahwa jika dipulangkan, Taufiq tetap menjalani hukuman yang setimpal dan berada dalam pengawasan ketat, termasuk proses deradikalisasi. Di sisi lain, banyak pihak menilai bahwa seseorang yang sudah 25 tahun di penjara—jauh dari keluarga dan tanah air—pantas diberi kesempatan untuk menjalani hukuman dengan lebih manusiawi.
Bukan Kasus Satu-Satunya
Permohonan seperti ini bukan yang pertama. Sebelumnya, Indonesia juga menghadapi dilema serupa dalam kasus Mary Jane (Filipina) dan narapidana asing seperti Serge Atlaoui (Prancis).
RUU Transfer Narapidana akan menjadi solusi jangka panjang agar kasus seperti ini tak lagi bergantung pada kebijakan situasional atau diskresi politik semata.
Penutup: Pulang, Tapi Tidak Bebas
Jika Taufiq akhirnya dipulangkan, bukan berarti ia bebas. Ia akan tetap menjalani sisa hidupnya di penjara Indonesia. Tapi setidaknya, ia pulang. Bisa melihat tanah kelahirannya lagi. Bisa berbicara langsung dengan ibunya yang menua. Bisa bertemu keluarga yang selama ini hanya bisa mengirim kabar lewat duta besar.
Pertanyaannya sekarang: Apakah negara bersedia membuka pintu, atau tetap menahannya terkunci di negeri orang?