Mata4.com – Bekasi.
Bayangkan ini: Tahun 2030, Indonesia tidak krisis… tapi juga tidak siap. Semua berjalan seperti biasa—harga naik perlahan, pekerjaan makin digital, orang makin terhubung… tapi juga makin bingung. Apakah itu krisis? Tidak dalam bentuk yang meledak. Tapi dalam bentuk yang senyap dan menggulung lambat. Itulah bentuk krisis baru: krisis yang tidak diberi nama.
KITA TIDAK PERLU TUNGGU KRISIS GLOBAL UNTUK TERPURUK
Banyak negara runtuh bukan karena guncangan besar, tapi karena kebiasaan menunda keputusan penting. Menunggu ‘krisis global’ seolah itu seperti bencana alam. Padahal, banyak tanda sudah muncul:
SDM belum siap masuk ekonomi digital
Sektor pangan masih sangat bergantung pada impor
Pendidikan belum mengejar kebutuhan industri masa depan
Pendapatan stagnan, biaya hidup naik
Ini bukan “akan terjadi”, ini sedang terjadi. Tapi karena tidak ada headline bertuliskan “INDONESIA KRISIS”, kita merasa aman.
SIAPA YANG AKAN BERTAHAN DI 2030?
Bukan mereka yang punya modal besar. Tapi mereka yang paham cara berpikir baru.
Di era pascakrisis, yang bertahan bukan negara kaya, tapi negara cerdas. Dan kecerdasan itu bukan sekadar soal teknologi. Tapi soal:
Keberanian menyusun ulang prioritas anggaran
Kemampuan menciptakan ekonomi lokal yang berputar sendiri
Menumbuhkan budaya belajar ulang (lifelong learning)
Kemandirian pangan dan energi
INDONESIA BISA, TAPI DENGAN SYARAT: HARUS BERANI BERUBAH
Kita tidak kekurangan sumber daya. Kita kekurangan kemauan untuk mendesain ulang sistem. Dari cara belajar, cara bekerja, sampai cara pemerintah mendefinisikan ‘pembangunan’. Kita butuh:
Revolusi birokrasi, bukan reformasi setengah hati
Investasi pada orang, bukan hanya beton dan jalan tol
Peta jalan ekonomi lokal, bukan hanya ikuti tren global
Jika semua pembangunan hanya ditujukan untuk “melayani investor”, kita akan jadi pasar. Tapi jika pembangunan dirancang untuk memberdayakan rakyat, kita bisa jadi pelaku.
Tahun 2030 tidak akan memberi ampun pada yang lambat. Tapi ia akan memberi ruang pada yang berani berubah.
